Lampu dengan Tenaga Darah Manusia

Bagaimana, jika setiap kali anda ingin menyalakan lampu, maka kita harus berdarah terlebih dahulu? Maka dengan demikian, kita akan berpikir dua kali sebelum menerangi ruangan tersebut, dan menggunakan energi yang ada!
Ide dibalik ‘lampu darah’ tersebut, ditemukan oleh Mike Thomspon, seorang designer Inggris yang tinggal di Belanda. Lampu tersebut mengandung Luminol, senyawa kimia yang digunakan ilmu forensik untuk mendeteksi keberadaan darah pada Tempat kejadian perkara (TKP). Luminol bereaksi dengan besi (ferum) pada sel darah merah dan membuat terang berwarna biru. Untuk menggunakan lampu tersebut, kita harus mencampurnya didalam bubuk aktivasi. Kemudian, kaca tersebut dipecahkan, lalu teteskan darah ke dalam bubuk.
Thompson mendapatkan ide ini beberapa tahun yang lalu, ketika sedang studi master pada Akademi Design Eindhoven di Belanda. Dia melakukan penelitian mengenai energi kimia untuk proyek tersebut, dan mempelajari kegunaan luminol.
‘ Bahwa energi menjadi sesuatu yang mahal, hal tersebut selalu membayangin pikiran saya. Penelitian ini adalah cara supaya kita berpikir secara alternatif mengenai cara menggunakannya’, Kata Thompson. Lampu tersebut dimaksudkan untuk ‘menantang persepsi manusia mengenai asal usul dari sumber energi kita’, demikian kata dia. Hal ini akan memaksa pengguna untuk ‘ berpikir ulang mengenai betapa berharganya energi, dan betapa selama ini telah terjadi pemborosan energi.’
Fakta bahwa lampu tersebut hanya bisa sekali digunakan, menjadikannya semakin pantas untuk jadi bahan renungan.
‘Kita harus dapat memutuskan, kapan menggunakan lampu tersebut, sebab ia hanya bekerja sekali,’ Kata Thompson. ‘ Hal itu menyebabkan kita merasa sayang untuk melakukan pemborosan.’
Thompson mendesain dan memproduksi lampu tersebut pada 2007, dan membuat video proyek tersebut pada tahun ini.

Diterjemahkan dari LiveScience.com
Read more ...

Sains, Teknologi, dan Peradaban Bangsa

Tak bisa dibantah, negara-negara Asia pernah mengalami masa kejayaan di bidang sains dan teknologi. Justru ketika negara Barat mengalami apa yang disebut dengan “abad kegelapan”. Islam punya peranan penting di bidang tersebut . Sayang, itu adalah masa silam. Kolonialisme membuat sains dan teknologi diambil alih oleh Barat, dan menjadikan negara terjajah termasuk Indonesia hanya sebagai negara “satelit”.Sebuah kilas balik dari sisi sejarah dan filosofi ini semoga mampu membuat kita menguraikan kembali kesuksesan yang pernah kita ukir di masa lampau. Dan berpikir, bahwa saat ini pun kita harus kembali merebut sejarah itu. Berikut bagian pertama dari 2 (dua) tulisan.
Di bagian penutup dari buku “Aborted Creativity: Science and Creativity in the
Third World,” Susantha Goonatilake menyimpulkan bahwa:
The major carriers of science in the Third World, the universities and the research
institutes, …, produce a large number of scientists as well as … impressive output….
This science, though important practically, is of mediocre creativity;
it has failed to produce any significant originality in thinking.”Dalam buku tersebut dimuat berbagai hasil studi terhadap perkembangan sains dan teknologi di negara-negara berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin pada periode pra-kolonial, kolonial dan pasca-kolonial. Istilah “aborted creativity” digunakan untuk menegaskan adanya pola umum dalam perkembangan pengetahuan di Dunia Ketiga, dimana kreativitas yang pernah tumbuh berkembang di masa pra-kolonial, mengalami marjinalisasi, tekanan-tekanan, sehingga akhirnya tidak mampu meraih tahap perkembangan yang lebih tinggi.
Dengan perkataan lain, kreativitas yang berakar pada tradisi-tradisi prakolonial di Dunia Ketiga gugur sebelum berkembang mencapai kematangannya; kreativitas ini teraborsi. Di sisi lain, pengetahuan yang berkembang di Dunia Ketiga di pasca-kolonial merupakan sains dan teknologi yang pilar-pilarnya dikembangkan melalui transformasi peradaban Barat sejak Renaissance sampai Revolusi Industri di Inggris.Sains dan Teknologi Negara Ketiga
Berbeda dengan sains dan teknologi di Barat, di Dunia Ketiga perkembangan sains dan teknologi ini cenderung imitatif, tidak memiliki orisinalitas, dan rendah dalam kreativitas. Menurut Goonatilake, gejala ini dipengaruhi oleh struktur sosial, kondisi psikologi dan persoalan epistemologi yang membuat sains dan teknologi di Dunia Ketiga—meskipun sudah meraih kemerdekaan—selalu bergantung pada sains dan teknologi di Barat.
Dalam sebuah pertemuan resmi negara-negara Asia di New Delhi tahun 1947, Sutan Sharir, Perdana Menteri Republik Indonesia waktu itu, menegaskan makna kemerdekaan:
“… the sentiment which has impelled the races of Asia to struggle for independence is not only based on truth and justice, but us also in keeping with the insistent call of progress and absolutely in harmony with the dictates of humanity. But here it is important to bear in mind that that sentiment must be so nurtured that it will not stray from the path of truth, justice, humanity and idealism. For, should we fall prey to careless ways of thought, this self-same sentiment will turn itself into an instrument of destruction and all our idealistic visions of a brave new world will end in Dead-Sea fruit.”Melalui pernyataan di atas, Dr. Sharir menegaskan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan sebagai pijakan bagi perjuangan untuk meraih kemerdekaan, dan mengingatkan agar pijakan ini terus-menerus dihidupkan untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan yang justeru dapat merusak nilai-nilai ideal dari suatu kemerdekaan.
Kurang dari satu dekade setelah Konperensi Asian Relations di New Delhi, negara-negara Dunia Ketiga kembali menyelenggarakan pertemuan yang dikenal dengan Konperensi Asia-Afrika, di Bandung, Indonesia, pada tahun 1955. Ini merupakan pertemuan monumental negara-negara Dunia Ketiga yang melahirkan sebuah kesepakatan penting yang dikenal dengan Dasasila Bandung. Sepuluh prinsip yang terkandung dalam Dasasila Bandung menegaskan penghormatan dan perlindungan atas hak-hak dasar manusia, kedaulatan dan integritas setiap bangsa, persamaan bagi setiap ras, dan menolak segala tindakan campur tangan, tindakan penekanan dan kekerasan, tindakan penyimpangan hukum dari bangsa mana pun di dunia.
Setengah abad Dasasila Bandung dicetuskan sudah. Sebagian besar negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, masih belum meraih keadaan sebagaimana yang diaspirasikan melalui Dasasila Bandung tersebut. ‘Bencana’ moneter yang dialami negara-negara Dunia Ketiga di sepanjang 1990-an memperlihatkan rendahnya kemerdekaan ekonomi dan politik dari negara-negara tersebut. Fakta ini, dan didukung dengan fakta tentang tingginya kebergantungan negara-negara Dunia Ketiga dalam sains dan teknologi di era pasca-kolonial, memperlihatkan bahwa kemerdekaan yang diraih negara-negara Dunia Ketiga belum meraih wujud yang utuh dan matang.
Sains dan Teknologi di Dunia Islam dan Asia
Perkembangan pengetahuan yang signifikan pernah terjadi di masa jaya para pemikir dari Dunia Islam, pada abad ke 7 sampai abad ke 10 Masehi. Pada masa ini, khazanah intelektual Yunani digali dan disempurnakan oleh pemikir besar seperti Ibnu Sina, Ibnu Kaitsam, Al Khawarizm, dan lain-lain. Tradisi filsafat Yunani mendapatkan ‘ruh’ yang baru di masa itu, dan dasar-dasar penelitian empirik diletakkan oleh para saintis muslim. Astronomi, Kimia, Optika, Matematika, Kesusasteraan, Politik dan Kenegaraan mengalami kemajuan yang sangat pesat di periode ini. Logos (kehendak, kesadaran) yang mendasari pencarian intelektual di masa ini mendapat pengaruh besar dari sistem ajaran Islam yang khas tentang manusia, masyarakat, dunia material dan alam eternal. Hingga belahan pertama milenium II (sampai 1400-an), pengetahuan berkembang meluas di negara-negara Asia dan Afrika lain seperti India, Cina, dan Mesir, yang dikenal sebagai bangsa-bangsa yang memiliki peradaban besar. Dalam catatan Susantha Goonatilake, terdapat sistem pengetahuan formal tentang dunia fisis yang dikenal dengan nama Ayurveda, yang berakar pada sistem ajaran agama Buddha. Di abad ke 13, sistem pengetahuan Ayurveda berhasil mengembangkan penggunaan zat-zat kimia untuk keperluan medis.
Sedangkan bangsa-bangssa Eropa pada masa-masa itu mengalami apa yang oleh pemikir Eropa Modern disebut sebagai Masa Kegelapan (Dark Age) yang dicirikan oleh dominasi kerajaan-kerajaan barbar. Abad ke 14 sampai abad ke 17 merupakan masa Renaissance bagi Barat di mana berlangsung pergerakan kultural mulai dari Italia, dan meluas ke Jerman, Perancis, Inggris, dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Renaissance merupakan transformasi peradaban Eropa dari masa kegelapan menuju era baru yang disebut dengan Enlightment. Perubahan peradaban ini ditandai dengan transformasi sosialpolitik-ekonomi, dan perubahan dalam world view, yang dipelopori oleh, di antaranya, Leonardo da Vinci, Copernicus, Bacon, Newton, Hume, dan August Comte.
Melalui Renaissance ini, khususnya memasuki abad 19, sains dan teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan watak yang khas, yang oleh Martin Heidegger disebut dengan ‘memerangkap alam.’ Ilmu pengetahuan yang semula dikembangkan dengan tujuan utama memahami alam, bergeser menjadi kontrol dan manipulasi alam. Kesadaran (logos) untuk memerangkap alam ini menjadi pendorong pengembangan teknologi modern di pasca Revolusi Industri.
Sains dan Teknologi di Barat
Hingga akhir abad 19, perkembangan sains dan teknologi berlangsung hanya dengan dukungan dan campur tangan yang sangat terbatas dari pemerintah. Kemajuan sains di era modern sebagian besar berlangsung melalui upaya-upaya individual—para saintis ‘amatir’ yang bekerja di Eropa, khususnya Inggris, Perancis, Jerman, Austria dan negara-negara Skandinavia. Istilah ‘amatir’ di sini digunakan untuk menegaskan bahwa sains bukan merupakan sejenis profesi di masa itu. Mata pencaharian utama para saintis di masa itu seringkali tak terpaut dengan sains yang mereka tekuni. Komunikasi di antara mereka berlangsung secara pribadi, tidak melalui forum-forum formal.
Upaya-upaya saintifik mengalami reformasi selama abad 19 seiring dengan meningkatnya relasi-relasi antara kepentingan pemerintah dan kegiatan S dan T. Di masa itu perhatian pemerintah untuk menggunakan sains menjadi tumbuh pesat terutama di Eropa, Amerika Serikat dan Kanada. Perang Dunia I menandai awal mula bersatunya para saintis dengan pemerintah. Ketika itu untuk pertama kalinya para saintis dikerahkan untuk mengabdikan sains bagi kepentingan perang, dan menghasilkan lembaga-lembaga besar seperti Departemen Riset Saintifik dan Industrial, Dewan Riset Nasional di AS.
Setelah Perang Dunia I, hubungan-hubungan ini berkembang lebih jauh. Akibat Revolusi Rusia dan pengukuhan negara Soviet, sains digalang untuk melayani ideologi komunis. Sains bukan hanya menjadi aset kapital nasional, tetapi juga layanan publik dan dipadukan dengan kekuatan produksi. Perencanaan dan koordinasi sentral riset saintifik untuk tujuan pembangunan ekonomik kemudian dilembagakan. Industrialisasi Rusia yang fenomenal dan berlangsung dalam sekejap, sebagian besar didorong oleh kebijakan pemerintah Rusia bagi sains. Ini membangkitkan kepercayaan bahwa sains dapat, dan harus direncanakan untuk kepentingan masyarakat.
Pengalaman di masa perang memperlihatkan bahwa kemajuan sains dan teknologi dapat dipercepat melalui koordinasi riset secara nasional dan dukungan pemerintah secara terorganisasi. Meluasnya peranan sains dan teknologi dalam pemerintahan dimotivasi utamanya oleh keinginan negara-negara pada masa itu untuk memelihara pembangunan ekonomi dan ketahanan militer. Buah dari upaya seperti ini dapat diarahkan menuju prioritas kebijakan nasional. Seusai masa perang, formulasi kebijakan sains dan teknologi nasional menjadi objektif yang penting di antara negara-negara industri. Ini terlihat pada pendirian Dewan Penasihat Kebijakan Sains di Inggris, Komisi Energi Atom di Perancis, dan Fondasi Sains Nasional di AS.
Perang Dingin
Sesudah Perang Dunia II, di masa Perang Dingin, sains dan teknologi yang terpaut dengan kegiatan militer mendapat pendanaan yang sangat besar. Dengan suksesnya Manhattan Project dan pengembangan senjata nuklir, sains fisik menerima kelayakan politik yang sangat tinggi. Untuk alasan yang serupa, sebagai konsekuensi kompetisi antara AS dan Uni Soviet, sains yang terpaut dengan program luar angkasa seperti sains material, aspek tertentu dari astronomi, memperoleh pendanaan besar. Tetapi pada periode berikutnya kedua program ini mengalami pengurangan anggaran yang sangat berarti, sebagai akibat menurunnya ketegangan di antara dua negara besar tersebut.
Di era 1940-an, sains fisika mendapat dukungan politis jauh lebih besar dari sains sosial. Sehelai surat yang ditandatangani 5000 saintis disampaikan pada Presiden AS di tahun 1945. Surat itu menyatakan bahwa merupakan kesalahan besar untuk melibatkan para saintis sosial di dalam National Science Foundation (NSF). Sains sosial bersifat kontroversial sehingga rentan terhadap serangan politik, dan membuat NSF kesulitan dalam memobilisasi sumber-sumber daya. Tetapi di pertengahan 1960-an, dengan berkembangnya kritik terhadap Perang Vietnam, kritik terhadap sains sosial menjadi bumerang bagi sains fisik itu sendiri. Sains-sains sosial bangkit dan berkembang dalam tubuh saintifik Amerika.
Pada periode ini tumbuh disiplin-disiplin ilmu yang mempelajari dampak sains pada masyarakat. Rangkuman pengalaman negara-negara maju ini memperlihatkan bahwa techne di era modern bukan lagi merupakan urusan individu ataupun komunitas berskala kecil.
Techne mencakup upaya-upaya saintifik dan teknnologis, serta kebijakan S dan T pada skala nasional. Logos dari techne modern ini berorientasikan tujuan-tujuan nasional pada wilayah ideologi, militer, ataupun ekonomi dan berbentuk kesadaran nasional untuk menggali sumber-sumber alam guna mewujudkan produksi berskala massal.Sains dan Teknologi di Dunia Ketiga di Pasca-Kolonial
Perkembangan ilmu pengetahuan di negara-negara bekas kolonial menghadirkan isu yang vital berkenaan dengan karakteristik pengetahuan mereka. Istilah ‘satellitic science’ telah digunakan oleh para pengamat sains di Dunia Ketiga untuk menggambarkan situasi ini. Apa-apa yang dipandang sebagai pengetahuan saintifik di Dunia Ketiga adalah apa-apa yang telah diakui absah di dalam tradisi modernis Barat. Pengetahuan yang absah ini kemudian diimitasi di periferal melalui kebergantungan sosial dan kultural.
Model Perkembangan Pengetahuan Difusionis
Umumnya dalam model perkembangan pengetahuan demikian, proses akuisisi pengetahuan sebagian besar bersifat difusionis (dari pusat ke periferi). Pengetahuan fundamental dan mendasar tumbuh sebagian besar di Barat dan dialihkan ke negara-negara berkembang dalam konteks hubungan intelektual yang bergantung. Sebagian besar pekerjaan penting, isu-isu utama, dan paradigma utama dalam sains berlangsung di pusat sementara isu-isu minor dan sub-problem yang ditangani saintis di negara-negara yang bergantung. Legitimasi pengetahuan—proses yang melaluinya output pengetahuan tertentu dicap absah dan relevan, mengambi bentuk berbeda di pusat dan di periferi.
Di pusat, legitimasi berlangsung melalui perdebatan yang sengit dan negosiasi sosial pada isu-isu saintifik oleh para saintis di pusat. Di periferi yang terikat, akumulasi pengetahuan terjadi melalui difusi ide-ide yang berasal dari pusat, dan legitimasi terjadi dengan merujuk dan mengacu pada tulisan-tulisan dan para penulis di pusat. Reputasi saintifik di sebuah negara periferial seringkali dibentuk tidak atas dasar kriterian saintifik, tetapi cara-cara personal-politis.
Pengetahuan saintifik di pusat oleh karenanya, tumbuh di dalam lingkungan yang kreatif melalui proses organik. Di perferi, struktur kebergantungan menghasilkan pengetahuan imitatif atau pengetahuan yang dilegitimasi pada kriteria non-saintifik.
Pengetahuan justru beraksi untuk menekan kreativitas. Watak lain dari pengetahuan yang tumbuh di periferi adalah ia merupakan pemetaan pengetahuan di pusat. Oleh karena tidak seluruh realitas dari pusat yang datang dipetakan, maka pengetahuan di periferi cenderung terfragmentasi. Para saintis di periferi cenderung mencari legitimasi dan kemajuan sosial dalam cara-cara yang superfisial.
Kepustakaan:
  • Aquelt Ahmad, et al (editors), Science and Technology Policy for National Development: A Window on the Asian Experience, published by the Foundation for International Training, Canada, 1988.
  • Carl Mitcham, Thinking Through Technology, Chicago Press, USA, 1994.
  • Goonatilake, Susantha, Aborted Creativity: Science dan Creativity in the Third World, Zed Book Ltd., London, 1984.
  • Kusmayanto Kadiman, “IPTEKS, Pendidikan Tinggi dan Reformasi Sosial: Sebuah Retrospeksi,” Naskah Pidato Rektor ITB dalam acara Wisuda ITB, Juli, 2003.
  • Kadiman, K., “Kontrak Sosial bagi Sains,” HU Pikiran Rakyat, Edisi Akhir Tahun, 2004.
  • Pradip K. Ghosh (editor), Technology Policy and Development: A Third World Perspective, Greenwood Press, Connecticut, USA, 1984.
Read more ...

FISIKA

PELITA KARAWANG ADMIN